Epilog;
Masih begitu terasa dalam pikiran ini. Begitu nyata terngiang bentuk-bentuk kesakitan apa yang dirasakan. Hari itu hujan begitu lebat, begitu hebat menghembuskan debu-debu kecil yang berserakan disana. Hari itu begitu sunyi; sepi, disudut jalan itu terlukis raut wajah yang begitu lama ku cari. Disana, yaaa disana, disudut jalan itu aku lihat kembali wajah yang aku nanti; wajah yang selama ini aku rindukan.
The Special One: Cinta Tidak Selamanya Bersama.
“Everyone have the reason to love someone else.”
Sudah berjam-jam lamanya aku menunggu kedatangan temanku, hari itu adalah hari kamis, pertengahan bulan Oktober tahun 2010. Pagi tadi Nisya dan Naufi memintaku untuk menunggu mereka di bawah pohon di dekat ruang guru.
“Satu setengah ditambah dua puluh sama dengan, eeeeemmmm…”, aku begumam-gumam sendiri menghitung bagian-bagian tugas Matematika yang diberikan oleh bapak Iyat pagi tadi.
“empat puluh satu perdua…”, tiba-tiba ada suara yang mejawab gumamanku itu. Aku menoleh ke belakang, ternyata Nisya dan Naufi datang menghampiriku dan langsung saja duduk disebelahku.
“Eh, Nisya, Naufi… Kok mau dateng engga bilang-bilang sih. Kaget tau hehehe dikirain siapa itu yang ngejawab…”, sahutku.
“Hahaha, dasar… Makanya kalo ngerjain sesuatu itu jangan pake ngomong sendiri Fem”, jawab Naufi.
“Iyaaa, lagian kan kita udah janjian sama kamu Fem disini… Lama yaa?”, sambung Nisya.
“Iya nih kalian dari tadi ditungguin baru nonggol, udah lama nih nungguin kalian disini. Sendirian lagi hehehe”, Kataku panjang.
“Iya deh, iyaa… Maaf yaa Fema sayang hehe. Tadi kan kita rapat dulu…”, sahut Naufi. “Eh iya, kok tumben si Virina engga nemenin kamu? Pasti dia pulang duluan yaa? Aduuuuhhh kasian banget sih ditinggal sendirian..”, lanjutnya.
“Iya, tadi Virina pulang duluan Fi. Biasa nebeng sama Dista tuh…”, jawabku.
“Dasar itu anak haha, masih aja nebeng-nebeng…”, tanggap Nisya.
“Ya udah, ini tugas-tugas yang tadi dikasih pak Iyat sama bu Risti. Jangan lupa dikerjain ya, Besok udah dikumpulin lagi tuh.”, kataku.
“Iyee, iyee Fem. Tenang aja pasti kita kerjain kok. Ayo ah kita pulang, perutnya udah bunyi-bunyi tau dari tadi, udah pengen dikasih makan nih.”, sahut Nisya.
“Kak….”, tiba-tiba ada suara yang menghampiri kami bertiga. “Kak, buat program minggu depan apa lagi yang harus aku bantu?”, lanjutnya.
“Oh iyaa wan, nanti tolong dibimbing temen-temen kamu yang lain supaya lebih terkondisikan ya buat acaranya nanti.”, Nisya menjawabnya.
“Oke kak kalo gitu, makasih ya kak… Irwan duluan ya kak”, sahut laki-laki itu.
“Oh iya.. iya wan…”, sahut Nisya.
“Ih ayo kita juga pulang, udah jam berapa ini.”, kata Naufi.
~~~
Diperjalanan pulang ke rumah, untuk pertama kalinya aku mengingat-ingat sesuatu. Entahlah, selalu saja ada yang harus aku ingat walau tidak ada hal yang perlu aku ingat. Maklumlah, jiwa sensitif seperti ini selalu merasuk kedalam pikiranku, membuat aku harus berpikir setiap saat.Tiba-tiba teringat dalam memoriku laki-laki itu. Laki-laki yang baru saja menghampiri kami bertiga.
“Siapa sih yang tadi itu Nis ? Pasti ade kelas ya? Kok kayanya sering liat juga ya, kemana-mana pasti liat itu anak hehe”, tanyaku.
“Iya Fem, dia itu wakilnya Aji.. Rajin tuh anaknya. Kenapa Fem?”, Sahut Nisya.
“Oh yaa? Emmm… baguslah Nis rajin, kan wakilnya ketua hehe… Ah engga papa kok Nis cuman nanya aja”, jawabku. “Eh tapi lucu juga ya, alo senyumciri khasnya tuh keluar banget Nis..”, lanjutku.
“Ah, hahaha iya sih Fem.. Jangan-jangan lagi nih anak. Suka ya?”, canda Nisya.
“Loh enggalah Nis, suka aja tuh kalo merhatiin dia senyum, apalagi kan sering liat itu anaknya.”, bantahku.
“Ah… suka juga ga papa kok. Udah deh nanti aku salamin aja ya.”, kata Nisya.
“Eh, eh.. Jangan dong jangan Nis.”, sahutku.
~~~
Akhir bulan Oktober 2010
Setelah percakapanku dengan Nisya pertengahan bulan November itu, akhirnya Naufi dan Virina berusaha untuk mendekatkanku dengan Irwan. Padahal, sudah berkali-kali aku hanya mengaguminya sekilas lalu. Ya apa boleh buat, sejak percakapan tentang Irwan itu dimulai pun Irwan sudah berkali-kali memergokiku memperhatikannya. Bahkan bukan hanya itu, Irwan pun lebih memperhatikan aku dibandingkan sebelumnya. Sebaliknya, aku hanya memperhatikan Irwan karena begitu sering melihatnya.
“Assalamu’alaikum kak, maaf ini sama kak Fema kan?”, pesan singkat ini membuatku yakin pasti Irwan yang mengirimkannya untukku.
“Wa’alaikumsalam, iya. Maaf ya ini sama siapa?”, aku menjawab pesan singkat itu dan pura-pura tidak mengetahui bahwa yang mengiri pesan singkat itu adalah Irwan.
“Ini Irwan kak. Kakak lagi apa?”
“Lagi belajar Wan, Irwan sendiri lagi apa?”
“Wah, maaf ya Kak jadi ganggu Kakaknya lagi belajar. Diterusin lagi aja Kak belajarnya.”
“Gak papa kok Wan. Ini juga udah mau selesai belajarnya. Oh iya, Irwan itu kelas apa ya?”
“Yang bener nih Kak? Aku kelas X.3 Kak.. Kakak ini temennya Kak Nisya sama Kak Naufi ya? Kelas XI IPA 3 kan Kak?”
“Iya Wan, aku temennya Nisya sama Naufi, bukan temen lagi malahan.. Kita udah sahabatan lama banget hehe”
“Oh gitu ya Kak. Pantesan deket banget sama Kak Nisya sama Kak Naufi.. Kakak ini rumahnya dimana ya?”
“Aku masih di Parungkuda juga Wan, deket banget rumahnya sama Nisya. Irwan?”
“Rumah aku jauh banget Kak dari sekolah… Hampir perbatasan sama kabupaten Bogor Kak.”
“Loh, terus kalo berangkat sekolah dari sana jam berapa Wan? Suka telat engga itu?”
“Alhamdulilah engga kok Kak, yaaa… sekitar setengah jam Kak dari rumah kalo cepet.”
“Kok jauh-jauh sekolahnya sampe ke Parungkuda Wan?”
“Hehe engga papa Kak, mau aja.. Oh iya Kak, beneran kan Irwan engga ganggu Kakak?”
“Oh gitu, hehe hebat ya engga telat sampe sekolahnya. Iya Wan beneran kok.. Tapi maaf ya Wan ditinggal mau ngerjain yang lain.”
“Oh iya Kak, makasih ya Kak…”
“Loh, makasih buat apa?”
“Buat waktunya Kak…”
Entahlah, percakapan singkat melalui pesan singkat antara aku dan Irwan membuat aku cepat terbuka kepada dia. Bahkan, percakapan-percakapan kecil itu membuat aku sering tersipu malu entahlah mengapa…
1 Hari sejak Irwan mengirimkan pesan singkatnya yang pertama, Irwan begitu terbuka atas segala kehidupannya. 1 Hari sejak Irwan mengirimkan pesan singkat perdananya, aku sering menunggu kabarnya setiap hari melalui pesan singkat itu. 1 Hari sejak Irwan mengirimkan pesan singkatnya itu, aku mulai menyukainya.
Awal bulan November 2010
Siang itu setelah aku keluar dari kelas terakhirku, Irwan menungguku di depan sekolah. Sejak malam tadi, Irwan memintaku untuk meluangkan sedikit waktuku. Satu persatu langkahku tujukan ke tempat yang telah kami janjikan bersama. Irwan ternyata sudah disana, aku lihat sosoknya disana, sendiri menungguku. Entah mengapa rasanya begitu bahagia melihatnya disana.
“Kak udah pulang?”, tanya Irwan.
“Iya Wan, baru aja. Udah lama disini?”, sahutku.
“Eh engga Kak, engga terlalu lama kok…”, jawabnya.
“Ada apa Wan? katanya mau bilang sesuatu?”, tanyaku kembali.
“Eeee, iya Kak. Kak bolehkan aku jadi pacarnya Kakak?”, kata Irwan.
“Hah, apa Wan? Emmm… Gimana yaa Wan?”, jawabku.
“Iya Kak, apa dong? Pleaseeee jawab ya Kak…”, pintanya.
“Eeee… Iyaa deh…”, jawabku dengan nada rendah, rendah sekali.
“Apa Kak?”, tanya Irwan kembali.
“Apa apa Wan? Kan jawabannya iya”, sahutku.
“Iya apa Kak?”, tanyanya.
“Yaaaa… Iya iya Wan”, sahutku dengan polos.
“Hehe, iya mau atau iya engga Kak?”, kata Irwan.
“Eeeee.. Iya mau Irwan!!!”, dengan jelas aku jawab pertanyaannya.
“Hehe gitu dong Kak, jadi engga buat bingung…”, candanya.
“Iya Irwan… Ya udah masih ada yang mau diomongin lagi gak nih Wan? Kalo engga aku mau pulang ini”, kataku.
“Iya udah kok Kak, oke Kak. Hati-hati ya Kak dijalan pulangnya. Maaf aku engga bisa anterin nih kak, soalnya ada rapat Kak”, jawab Irwan.
“Iya Wan engga papa kok hehe”, sahutku.
“Ya udah Kak, nanti aku sms ya Kak”, kata Irwan.
~~~
Seteah kejadian diawal bulan November itu, kami menjalin hubungan dengan baik dan lebih baik lagi. Kami berjanji untuk tidak menyembunyikan apapun. Kami menjalaninya dengan bahagia, merajut impian bersama, menyingsing cita-cita bersama dengan satu alasan yaitu kebersamaan dan kasih sayang.
Aku dan Irwan tetap bahagia. Walau aku tau Irwan bukan seperti laki-laki yang lain, tetapi sosok laki-laki seperti Irwanlah yang membuatku semakin semangat untuk merajut semua mimpi-mimpi ini menjadi kenyataan. Sosok seperti Irwanlah yang membuat aku yakin bahwa bersamanyalah aku dapat meraih semuanya dengan kekuatan yang begitu luar biasa. Irwan adalah orang yang hebat bagi aku dan aku harus menjadi orang yang hebat pula bagi dirinya.
Hari-hari bersama Irwan begitu berharga bagi diriku, karena Irwan mengajarkanku banyak hal. Irwan mengajarkan aku untuk menjadi wanita yang lebih kuat, Irwan yang mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan Irwanlah yang membuat aku semakin ingin membuktikan diriku bahwa aku dapat menjadi wanita yang hebat bagi dirinya.
Mei 2012
1 tahun lebih kami telah bersama dan kebrsamaan itu membuat aku semakin yakin bahwa aku telah menemukan cintaku yang pertama. Ya, Irwan adalah cintaku yang pertama. Irwan adalah sosok yang begitu cemerlang dihati ini. Irwan adalah sosok yang aku kasihi begitu dalam disini, dihati dan jiwaku. Sungguh aku mencintainya dan mengasihinya.
1 tahun lebih kami bersama, dalam kebersamaanku bersama Irwan, begitu banyak batu krikil yang kami hempaskan. Tetapi ada beberapa krikil yang sampai saat itu tidak bisa kami hempaskan. Walau berjalan tertatih kami coba lalui itu. Mei 2012 adalah puncak dari segalanya. Bulan itu aku lulus dari sekolahku, namun dalam kebahagiaanku itu Irwan memutuskan untuk tidak lagi bersamaku. Irwan meninggalkanku…
Mei 2012; semuanya berubah begitu saja, keyakinanku terhadapnya pupus hanya dengan kata-kata “Aku engga bisa lagi sama kamu”. Begitu lama aku terpuruk, begitu susah kembali membangun perasaan yang sama terhadap orang lain bahkan terhadapnya kali itu. Aku rapuh…
Irwan mengatakan kepadaku bahwa aku harus sekuat duri mawar. Irwan mengatakan kepadaku bahwa aku harus setangguh batu karang. Namun kata-kata itu membuatku semakin sakit, karena harus berusaha menghilangkan perasaan itu dengan cepatnya.
November 2012
Berbulan-bulan setelah kejadian di bulan Mei, aku masih saja memikirkannya. Walau Irwan saat itu sudah memiliki seseorang yang mengisi hatinya denga cepat, aku bahkan tidak mengisinya dengan apapun selain kenangan-kenangan bersama Irwan.
Masih begitu terasa dalam pikiran ini. Begitu nyata terngiang bentuk-bentuk kesakitan apa yang dirasakan. Hari itu hujan begitu lebat, begitu hebat menghembuskan debu-debu kecil yang berserakan disana. Hari itu begitu sunyi; sepi, disudut jalan itu terlukis raut wajah yang begitu lama ku cari. Disana, yaaa disana, disudut jalan itu aku lihat kembali wajah yang aku nanti; wajah yang selama ini aku rindukan. Ya, itu Irwan… Namun dia begitu berbeda, dia tidak lagi seperti dulul; dia telah menemukan cintanya yang baru saat ini.
“Oh Irwan, aku masih sangat mencintaimu…”
First post on: http://fernaliahalim.tumblr.com