BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Wayang merupakan salah satu kebudayaan yang telah
lahir sejak lama. Berkembang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan etis dan
estetis manusia-manusia di dunia. Wayang yang hadir dalam perkembangan masa dan
zaman telah mengubah pemikiran manusia, baik dalam moral, pemikiran, dan
kehidupan. Lahir untuk Wahana Pendidikan Watak. Pertama, pertunjukan waynag itu
sendiri merupakan alat pendidikan watak menawarkan metode pendidikan yang amat
menarik. Karena wayang mengajarkan ajran dan nilai-nilainya tidak secara
dogmatis sebagai suatu indoktrinasi, tetapi ia menawarkan ajaran dan
nilai-nilai itu; terserah kepada penonton (masyarakat dan individu-individu)
sendiri untuk menafsirkannya, menilai dan memilih ajran dan nilai-nilai mana yang
sesuai dengan pribadi atau hidup mereka. Selanjutnya wayang mengajarkan ajaran
dan nilai-nilai itu tidak secara teoretis saja (berupa ajaran dan nilai-nilai)
melainkan secara konkret dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya yang
konkret sebagai teladan. Waynag juga tidak mengajarkan ajaran dan nilai-nilai
itu secara kaku atau akademis, melinkan disamping mengajak penonton untuk
berpikir dan mencari sendiri (sebagai dilambangkan adegan wayang golek diakhir
pertunjukkan), ia juga mendidik penonton melalui hati/rasanya dengan jalan
adegan-adegan lucunya, adegan mengharukan atau menyentuh hati, membuat hati
geram, dan lain-lain. Dengan demikian, dapat dikatakan, metode pendidikan watak
yang dipakai dalam pertunjukkan wayang adalah metode total tetapi nonformal.
Kedua, materi pendidikan watak yang ada dalam wayang (berupa lakon-lakon,
tokoh-tokoh dan ajaran serta nilai-nilainya) dapat digunakan bagi pendidik
watak dengan metode lain, seperti pendidikan agama, PMP (pendidikan moral
pancasila), dan lain-lain.
1.2 Tujuan
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah
ini, kami sebagai penulis memiliki tujuan-tujuan tertentu. Diantaranya:
·
Untuk memenuhi tugas mata pelajaran bahasa Indonesia
·
Untuk menambah wawasan kesenian wayang
·
Untuk menambah kecakapan dalam pembuatan karya
tukis ilmiah
·
Belajar untuk bertanggung jawab mengenai isi
karya tulis ilmiah dalam seminar
1.3 Metode
Dalam penyusunan
karya tulis ilmiah ini, kami sebagai penulis menggunakan metode Observasi dan
pencarian-pencarian sumber-sumber mengenai pembahasan ini. Secara terperinci,
kegiatan pencarian sumber-sumber tersebut adalah:
·
Selasa, 18 Jnuari 2011, mencari sumber di perpustakaan SMAN 1
Parungkuda.
·
Minggu, 23 Januari 2011, mencari sumber di internet.
·
Selasa, 25 Januari 2011, awal penyusunan karya tulis ilmiah.
·
Jumat, 28 Januari 2011, akhir penyusunan karya tulis ilmiah.
· Sabtu, 29 Janurai 2011, pengopyan isi dari pembahasan karya
tulis ilmiah dan pembagian isi pembahasan kepada ketua kelompok yang lain.
BAB 2 WAYANG
2.1 Asal Usul Wayang
Asal Usul Wayang dalam dunia
Universal, memiliki kerancuan dalam menentukannya. Sementara beberapa Sarjana
mengatakan, wayang berasal dari India, ada juga yang mengatakan dari Indonesia
(Jawa), lainnya lagi menyatakan bahwa wayang merupakan produk Hindu-Jawa. Kebalauan
ini disebabkan beberapa hal. Pertama, sedikitnya data kongkret tentang asal
usul wayang. Kedua, berbedanya disiplin ilmu yang dipakai untuk mendekati
masalah. Ketiga, adanya unsur-unsur non-ilmiah yang masuk dalam mendekati
masalah. Dan keempat, perbedaan konsep tentang apa yang dimaksud dengan “asal
usul”.
Miskinnya data mengakibatkan
sulitnya menentukan apakah wayang berasal dari India ,
Indonesia ,
atau tempat lain. Andaikata berasal dari India bukti tentang ini hampir
tidak ada, karena bentuk wayang Hindu lama ini tidak pernah diketahui. Kata
Sanskrit Chayana Nataka yang berarti
teather menggunakan bayangan (Shadow play) tidak pernah disebut dalam Natya
Sastra atau karya-karya sastra Hindu yang lain. Sedang kata rupa rupakam yang muncul dalam teks-teks
Budha pada Tahun 1 S.M. Andai kata wayang berasal dari China , seperti kata Goslings
(Moeburman:210) bukti tentang hubungan wayang Ying-hi dengan penyembahan kepada
nenek moyangpun tidak ada. Andaikata wayang berasal dari upacara keagamaan yang
paling tua yang mirip upacara dewa di Irian Jaya, seperti kata Rassers
(Moeburman:21) bukti-bukti tentang ini juga hampir tidak ada. Juga persangkaan
tentang asal usul wayang dari Asia tengah yang kemudian menyebar sampai ke India , Cina, dan Asia tenggara seperti kata Brandon (hlm.4) tidak
disertai dengan bukti-bukti yang lengkap.
“Sesuatu
ekspresi kemanusiaan tak dapat dipisahkan dari kultur yang menghidupinya,
karena ia mempunyai arti apabila ia berfungsi dalam struktur social masyarakat
dari kultur itu (koentjaraningrat). Kalau teori ini diterapkan pada teori
tentang asal usul wayang, maka wayang tentunya berasal dari Jawa karena Wayang
hidup dan berfungsi dalam masyarakat Jawa saja.”1
2.2 Perkembangan Wayang
Meskipun
asal usul wayang belum dapat ditentukan dengan pasti, namun penulis-penulis Indonesia
cenderung mengikuti teori Hazeau
yang mengatakan wayang berasal
dari suatu upacara keagamaan untuk memuja arwah nenek moyang yang disebut
Hyang. Atas dasar ini mereka kemudian menyusun suatu periodisasi perkembangan
wayang di Indonesia .
Berdasarkan sumber karangan Mulyono (1978; 296-306) berikut ini diikhtisarkan
perkembangan Wayang.
2.2.1 Zaman Prasejarah
Mulyono mengikuti teori Hazeau bahwa
pertunjukan wayang yang mula-mula berfungsi magis-mitos-religius, sebagai
upacara pemujaan pada arwah nenek moyang yang disebut “Hyang”. Kedatangan arwah
nenek moyang ini diwujudkan dalam bentuk bayangan, dan mereka dating oleh
karena diminta memberikan restu atatu pertolongan. Dalam bentuknya yang
mula-mula wayang dibuat dari kulit dan menggambarkan arwah nenek moyang. Lakon
wayang menceritakan kepahlawanan dan petualangan nenek moyang. Pertunjukan
biasanya diadakan pada malam hari di rumah, halaman rumah atau tempat yang
dianggap keramat. Dengan menggunakan bahasa Jawa kuno murni.
2.2.2 Zaman Jawa Timur
Pertunjukan
wayang kulit purwa atau zaman ini sudah mencapai bentuk yang sempurna sehingga
dapat mengharukan hati para penontonnya. Wayang daun rontal dibuat pada tahun
939 menggambarkan para dewa, ksatria,dan Pandawa. Nama Semar baru terdapat pada
kitab Sudamala ( Candi Sukun 1440)
dan kitab Naworuci (abad XV). Wayang beber purwa yang dibuat dari kertas dan
menggunakan gamelan slendro terdapat
pada tahun 1361. pertunjukan wayang pada zaman ini sama seperti pertunjukan
pada zaman prasejarah dan bahasa yang digunakan bahasa Jawa Kuno dengan
kata-kata Sansekerta.
2.2.3 Zaman Kedatangan Islam
Pada zaman ini
wayang berfungsi sebagai alat dakwah, alat pendidikan dan komunikasi, sumber
sastra dan budaya, dan sebagai hiburan. Cerita diambil dari cerita-cerita Babad, yakni percampuradukan antara epos
Ramayana/Mahabrata versi Indonesia
dengan cerita-cerita Arab/Islam. Wayang berbentuk pipih menyerupai bentuk bayangan seperti yang kita lihat sekarang.
Pertunjukan wayang dipimpin oleh seorang dalang. Jumlah wayang ditambah, antara
lain wayang Betara Guru, Buta Cakil, dan lain-lainnya. Pertunjukan diadakan
pada malam hari selama semalam penuh. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa
Tengahan (1476-1715) dan bahsa Jawa baru (1715-sekarang).
2.2.4 Zaman Indonesia
Merdeka
Pada zaman Indonesia
merdeka wayang merupakan suatu pertunjukan kesenian. Suatu seni teater total,
yang berfungsi tidak saja sebagai hiburan tetapi juga untuk pendidikan,
komunikasi massa ,
pendidikan kesenian, pendidikan sastra, filsafat, agama, dan lain-lainnya.
Wayang-wayang baru mulai dipertunjukan, seperti wayang Suluh, Pancasila, dan
Perjuangan (+ 1947), Wayang Wahyu (+ 1969), Wayang berbahasa Indonesia ,
dan lain-lainnya.
2.3 Fungsi-fungsi Wayang
Wayang memiliki
fungsi-fungsi yaitu fungsi religius, pendidikan, penenrangan, kritik social dan
fungsi hiburan. Selain fungsi-fungsi tersebut, wayang memiliki fungsi-fungsi
teatrikal diantaranya adalah:
2.3.1 Wayang Sebagai Suatu Teater Total
Dibanding dengan drama-drama
dan teater-teater ini wayang tampak jauh lebih total. Isinya maupun cara
pementasannya. Meskipun ketotalan wayang ini tidak dalam bentuk kuantitatif
(karena penulisan dan pemangungan cerita-cerita wayang menurut aturan-aturan
klasik tertentu), tetapi dalam bentuk kualitatif. Lakon wayang umumnya, kecuali
lakon-lakon “Bharatayudha”, memang ditulis menurut suatu struktur klasik yang
tidak banyak variasinya. Namun dalam keterbatasan cerita-cerita wayang
menceritakan hampit seluruh aspek kehidupan manusia dan hampir seluruh kodrat
kebinatangan dan kemalaikatannya. Masalah pokok dan tema yang dibahas dalam
wayang hampir tidak ada batasnya. Mulai masalah-masalah kehidupan manusia
sebagai pribadi, makhluk social maupun sebagai hamba Tuhan. Masalah-masalah dan
tema-tema ini mengandung elemen-elemen tragic, komik maupun tragic-komik dan
diekspresikan dalam gaya
bahasa klasik, romantis, tetapi juga realistis dan absurd. Dan bahasa yang
dipakai dalam drama-drama lainnya.
2.3.2 Wayang Sebagai Sastra Lakon
Dalam sejarah teater dunia
barangkali sejarah lakon wayang adalah sejarah yang paling amat kacau.
Kekacauan ini terjadi karena dalam sejarah perkembangannya yang sudah amat tua,
telah melalui berbagai acara kebudayaan dan dengan demikian telah menyerap
sekian banyak pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan itu. Termasuk cerita-cerita
yang kemudian dipakai dalam lakon wayang. Cerita-cerita ini diambil dari
mitos-mitos lama, legenda-legenda, cerita-cerita rakyat dan juga cerita-cerita
dari kitab sastra. Dalam pencampuran sekian banyak pengaruh budaya ini
percampuran cerita-cerita wayang pun tidak mungkin dapat dihindarkan. Disini
berlaku pula prinsip sinkretisme dan mozaikisme. Setiap kebudayaan baru datang,
datang pula cerita-cerita baru, sedang cerita-cerita lama tidak dibuang, hanya
ditambahkan atau diadakan penyesuaian-penyesuaian. Kekacauan terjadi karena
penyesuaian-penyesuaian ini tidak selamanya cocok dan menimbulkan hal-hal yang
aneh-aneh dan lucu-lucu dan anakronis.
2.3.3 Wayang Sebagai Teater Hubungan antara Dalang, Penonton,
dan Tuhan.
Tater, kata Grotoswki (Toward the Poor Theater) terdiri dari dua unsur pokok, actor dan
penonton. Para actor menyuguhkan teater
sebagai suatu karya seni yang memberikan kepada penonton suatu santapan rohani
yang bermanfaat bagi penonton. Rasa haru yang dihasilkan oleh drama-drama
tragedy dapat memberikan sesuatu katharsis
(pembersihan) kepada jiwa manusia, seperti kata Aristoteles. Rasa
kepercayaan kepada diri sendiri bahwa manusia bias mengatasi segala masalahnya
sperti yang dihasilkan oleh drama-drama komedi dapat memberikan suatu dorongan
yang positif kepada semangat hidup manusia.
Santapan ini juga bisa bersifat intellectual, berupa
ide-ide baru yang dapat memperluas pandangan hidup manusia. Drama-drama klasik
Yunani mengajarkan betapa terbatas kekuatan manusia sebagai makhluk.
Shakespeare berbicara tentang betapa kondrat manusia bisa membuatnya begitu
angung tetapi juga begitu tengik, Chekov berbicara, betapa manusia dengan
segala kegagahannya sesungguhnya adalah makhluk yang perlu dikasihani, Shaw dan
ibsen berbicara betapa kekuatan-kekuatan social masyarakat manusia dapat
membentuk pribadi manusia. Bockett, icnesco, dan lain-lain dramawan absurdis
berbicara betapa tidak berartinya hidup manusia, dan demikian seterunya. Santapan
ini juga bersifat religius, berupa ide-ide yang bisa menyentuh rasa keagamaan
manusia. Drama-drama klasik Yunani berbicara tentang keterbatasan kekuatan
manusia terhadap kekuaaan Tuhan.
Drama-drama keagamaan abad pertengahan berbicara tentang
keterbatasan manusia dalam menuruti perintah-perintah Tuhan, dan seterusnya. Drama-drama
klasik Yunani mengajar manusia percaya kepada diri sendiri. Santapan yang
diberikan teater bisa juga bersifat artistic dan estetis. Karya teater yang
baik selalu mendidik manusia menjadi lebih peka terhadap diri sendiri, erhadap
alam, terhadap masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya. Demikian pada
akhirnya, teater selalu berakhir dengan tindakan etis. Inilajh santapan teakhir
yang ingin diberikan oleh teater. Teater ingin mendidik orang-orang sendiri dan
penonton menjadi manusia etis yang mau ikut bertanggung jawab terhadap yang
terjadi di dunia. Teater memang tidak ingin merombak dunia secara revolusioner,
tetapi paling tidak seperti juga Budha, teater ingin mengubah melalui hati
masin-masing manusia.
Wayang, sebagai teater, mempunyai fungsi yang sama dengan
tetaer-teater pada umunya, yakni memberikan santapan-santapan yang bersifat
psikikologis, intellectual, religius, filosofis, estetis, dan etis. Bedanya
hanyalah bahwa wayang ridak memisah-misahkan fungsi-fungsi ini. Wayang
memberikan hiburan yang sehat bagi penontonnya. Unsur-unsur tragedy, komedi,
dan tragic-komedi ada yang dalam wayang. Pencipta yang mengharukan, dilema-dilema
yang amat berat, pengorbanan-pengorbanan besar dan hiburan-hiburan ringan
berupa lawakan-lawakan, semua ada dalam wayang. Ajaran-ajaran dalam wayang
seperti ajaran hastabrata, dewa ruci dan lain-lain, juga dapat merupakan
topic-topik hangat bagi pembicara-pembicara intellectual. Sedang santapan
filosofis, religius, estetis, dan etis merupakan santapan yang paling dominan
dalam wayang. Berbeda dengan drama barat, yang hanya menganggap penting
unsur-unsur actor dan penonton, wayang menganggap bahwa ada unsur yang lebih
penting, dari itu semua adalah Tuhan.
“Wayang tidak
ada, actor dan penonton tidak ada kalau tidak ada Tuhan atau kalau Tuhan tidak
memperkenankan ada mereka.”2
Dalam setiap pertunjukkan Wayang, penonton memang bebas menyatakan
pendapat mereka atau komentar mereka, tetapi komentar-komentar ini tidaklah
sampai kepada keinginan untuk misalnya menggantikan Ki dalang dalam mewayang yakni
apabila penonton menganggap Dalangnya tidak becus. Struktur wayang itu sendiri
merupakan lambang kehidupan manusia mulai dari masa kanak-kanak sampai ke masa
tua. Pembagian struktur menjadi bagian-bagian patet nem, patet sanga, dan patet
manyura merupakan lambang perkembangan manusia
tadi. Dalam bagian patet man
misalnya, penggunaan gending-gending cucur bawuk, pare anom, ladrang srikaton,
katawang sukma ilang yang dilanjutkan dengan ayakan-ayakan mayura, dan sampak,
melambangkan perkembangan anak dari bayi sampai ke dewasa (Tjittawardaya, wawancara,
1979). Juga alat-alat pertunjukkan wayang dipakai sebagai lambang-lambang.
Untuk menunjukkan watak-watak ini wayang menggunakkan apa yang dinamakan wanda,
yakni ekspresi watak sesuatu boneka wayang yang diekspresikannya sendiri (watak
gajah sombong, atau kurang ajar sombong diekspresikan dalam bentuk jarak kaki
yang lebar). Juga peralatan panggung dan orang-orang yang terlibat dalam
pertunjukkan wayang melambangkan hidup manusia dunia. Yang empunya kerja (yang
menyelenggarakan pertunjukan wayang melambangkan Tuhan, karena tanpa
kehendakNya, tak ada pertunjukkan wayang. Dalang melambangkan pelaksana
kehendak Tuhan.
Berbeda dengan drama-drama lain yang
melibatkan begitu banyak pekerja teater seperti actor, sutradara, piñata
artistic dll. Maka wayang hanya mempunyai seorang dalang yang harus mengerjakan
hampir seluruh kerja mewayang itu. Drama pedaling meliputi bidang-bidang
sanggit, rasa (aspek estetis), banyol (lawakan), antawacana (penggunaan suara
bagi pelaku yang berbeda-beda), udanegara (kepandaian menerapkan percakapan,
menrapkan tatak rama serta gerak gerik wayang menurut tingkat, umur dan
silsilah), unggah-ungguh (etika).
Dalang yang baik dapat menguasai
sepuluh keterampilan, yakni: regu (mempunyai rasa luhur, wibawa, pada bagian
patet nem), greget (memainkan rasa hati), sem (memainkan rasa asmara), nges
(memainkan rasa sedih), ranggep (bersemangat selama pertunjukkan), antawacana,
cucut (dapat menimbulkan rasa tawa), unggah-ungguh, tugug (jelas dan urut jalan
ceritanya), dan trampil (cekatan dalam menjelaskan wayang, meringkas dan
memperpanjang adegan dll) (najawirangka: 57; Soetrisno:4).
2.4 Macam-macam Wayang
Dalam mencari Nilai-nilai luhur yang
datang dari sumber-sumber Indonesia sendiri, bangsa ini mempunyai banyak
pilihan: nilai-nilai itu bias dicari dari agama-agama besar atau kepercayaan
yang ada (Hindu, Budha, Islam, Kristen dan aliran
kepercayaan/kebatinan/mistisisme; dari system-sistem filsafat dan etika yang
bersumber pada agama-agama besar tersebut) dan dari karya-karya seni (sastra,
tari, senirupa, teater, musik dan lain-lain) yang mengandung ajaran-ajaran
ketuhanan mengandung ajaran-ajaran ketuhanan filsafat dan etika. Salah satu
bentuk karya seni yang dapat dipakai sebagai sumber pencarian nilai-nilai
adalah seni wayang. Berikut macam-macam Wayang diantaranya adalah:
2.4.1 Wayang Kulit
Didalam
estetika hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan inda
dan berhasil harus memenuhi enam (sad) syarat, atau sekumpulan syarat yang
terdiri atas enam bagian atau perincian (angga), karena itu rumusan itu disebut
sad-angga.
- Rupabedha, artinya pembedaan bentuk. Maksudnya, bentuk-bentuk yang digambarkan harus segera dikenal oleh yang melihatnya.
- Sadrsya,
artinya kesamaan dalam penglihatan. Maksundya, bentuk-bentuk yang digamarkan
harus sesuai dengan ide yang terkandung didalamnya. Demikian juga misalnya
sang Buddha Sakyamuni digambarkan
dengan badan yang tegap dan kukuh karena tokoh ini melambangkan keteguhan
batin dan kekuatan ajaran sucinya. Kalau kita terapkan pada wayang kulit,
maka kita melihat bahwa sadrsya ini
terdapat misalnya antara watak Janaka yang rendah hati dan selalau siaga
dengan wujudnya yang luruh tangguh itu; antara watak Kresna yang cerdik
dan waspada dengan wujudnya : Leher condong dengan muka terangkat lurus
kedepan; antara Durna yang licik dengan raut mukanya yang serba
berkerinyut, dan seterusnya. Bahkan lebih terperinici lagi,
keadaan-keadaan batin tertentu dari beberapa tokoh utama wayang
digambarkan dalam wujud-wujud dengan nuansa yang berbeda-beda, yang
disebut wanda.
- Pramana, artinya
sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi prinsip sadrsya maka tradisi menentukan
patokan menegenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada
dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu.
Perbandingan antara besarnya Syiwa dan Parawati harus sesuai dengan kedudukannya sebagai
dewa utama dengan istri yang merupakan pesertanya tetapi juga sumber
kekuatannya. Perbandingan antara panjang muka dengan tinggi dada dan panjang
kaki: ukuran dan perbandingan ini diatur misalnya dengan aturan talamana, yaitu pengukuran dengan tala
(= jengkal) sebagai unit pengukur
terbesar, yang masih diperinci atas unit-unit yang lebih kecil, seperti anggula yang panjangnya seperdua belas tala.
- Wanikabhangga,
yaitu penguraian dan
pembikinan warna. Di dalam seni lukis dan juga dalam seni rupa wayang
kulit, sudah tentu warna mempunyai peranan yang penting. Syarat ini adalah
meliputi pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat lukis,
pencampuran warna, dan pemakaian warna secara tepat.
Unsur-unsur wadag dalam seni lukis adalah garis dan warna, karena itu kedua-duanya harus
diatur dengan setepat-tepatnya. Dalam hal ini tradisi menetapkan pramana
sebagai norma pengendali garis, warnikabhangga
sebagai norma pengatur warna.
- Bhawa, bias diartikan sebagai suasana dan
sekaligus pancaran rasa. Suasana dan pancaran rasa ini, misalnya suatu
suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga si penikmat seni
bias diantar melalui jalur yang tak meragukan kea rah perasaan yang
dimaksudkan.
- Lawanya, berarti keindahan, daya pesona. Seperti
halnya dengan bhawa, lawanya ini pun adalah suatu kualitas yang
ditentukan oleh bakat dan bukan semata latihan ketrampilan dari si
seniman. Dengan kehadiran lawanya,
suatu hasil seni akan
menimbulkan kesan yang dalam pada si penikmat, bahkan bias mempengaruhi
batinya.
Demikian juga dalam seni rupa
wayang kulit kita sering menjumpai karya yang memancarkan pembawaan tertentu.
Kita tahu, bahwa dalam wayang kulit seluruh bagian dari si tokoh wayang telah
mempunyai perincian dengan penentuan pola-polanya, sehingga si seniman
seolah-olah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk kreatif.
Demikianlah perumusan tentang
syarat-syarat keindahan dalam kesenian Hindu.
Norma “menyimpang” di daerah pinggiran.
Wayang
termasuk pertunjukkan yang digemari rakyat Jakarta, dengan catatan: apabila ini
dimainkan di panggung orisinilnya.
”Di TIM, yang menonton pertunjukkan ini
sampai selesai sampai melek hanya seorang Jakarta yang tua dan empat orang dari
FSUI. Bahwa di dalam penyajian orisinilnya ada partisipasi penonton, terlihat
dari adanya sahut-menyahut antara dalang dan orang lain dalam jenis dialog yang
bersifat ‘nguda rasa’ (bicara dengan diri sendiri).”3
Dalam pertunjukkan yang kita bicarakan ini,
sahut-menyahut adalah anatara dalang dan salah satu pemain gamelan
berganti-ganti. Dikatakan mereka tidak berlatih sebelum pertunjukkan, sehingga
bias diduga bahwa sahut-menyahut ini terjadi atas jalur-jalur soal-jawab yang
sudah umum dikenal di dalam masyarakat, jadi juga bias dilakukan oleh penonton
yang cukup cepat daya tanggapnya.
Musik
pengiring wayang ini berlaras slendro,
memainkan lagu yang tidak
berganti-ganti, hanya kadang-kadang dimainkan dengan trompet kadang-kadang tidak.
Alat musik yang lain adalah: kromong
dengan 10 nada, kedemung dengan 7 nada, dua saron dengan 5 nada, dua ketuk, satu kempul dan satu gong.
Adapun
sumber cerita yang dimainkan oleh Wayang Jakarta ini bermacam-macam: bias dari galur, yaitu tradisi, bias dari komik; sedang yang dimainkan di TIM ini,
cerita Gatutkaca kawin, adalah sanggitan
dari gurunya dalam Bonang sendiri.
Tema utama dalam cerita ini adalah: menuju perkawinan dengan karnawati, anak
Karna; variasi-variasinya adalah: 1) Gatutkaca ingin kawin karena sudah besar,
tetapi ayahnya dan juga Arjuna tidak setuju dengan alas an tenaga Gatutkaca
masih banyak diperlukan dalam membangun Negara, sedang alau sudah kawin tentu
perhatian pada pekerjaan tidak penuh.
Dalam
seluruh ‘cerita’ dalang menggunakan bahasa Indonesia, demikian juga dalam
dialog, hanya dalam dialog yang bersifat gecul (jenaka) digunakan
juga bahsa Jakarta. Tokoh-tokoh ini selalu memakai bahasa Indonesia yang ‘baik’
dengan tetap memakai kata-kata misalnya “sampeyan” yang dimaksudkan untuk
meyakinkan suasana ke-wayang-annya, dan ini tidak terasa janggal.
Kemungkinan Pengindonesiaan
Meng-indonesia-kan
Wayang Purwa (Jawa) bukanlah berarti semata-mata mengalih-bahasakan pakem-pakem
pedalangan Jawa ke dalam Bahasa Indonesia. Tetapi, pengindonesiaan Wayang Purwa
hanya akan memuaskan dalam arti bertahan dalam nilai artistiknya, apabila
dikerjakan oleh seorang dalang, jadi matang dalam rasa cita pedalangan pada
seluruh unsur-unsurnya, yang mempunyai kemampuan sastra dalam memakai bahasa
Indonesia.
Masih
dalam bidang bahasa, ada suatu hal yang akan hilang apabila Wayang Purwa
diindonesiakan, yaitu unggah-ungguh
bahasa. Akan hilang kemungkinan
untuk memainkan unggah-ungguh dalam situasi-situasi cerita tertentu untuk menambah
efek dramatik misalnya. Dalam permainan biasa, akan timbul pula persoalan
mengenai bagaimana misalnya memebedakan bahasa yang dipakai oleh Duryudana
kepada Sakuni, Durna kepada Yudistira, Arjuna kepada Kresna Sembadra kepada
siapa saja dan seterusnya yang masing-masing mempunyai gaya tersendiri.
Yang
berjalinan erat dengan bahasa adalah seni rupa dan karawitan Wayang Purwa yang
juga telah amat terkembang dengan gradasi maknanya, modulasinya. Dalam hal ini
tak dapat diambil contoh dari Wayang Jakarta karena di sini rupa-rupanya rasa
tidak terlalu diburu.
2.4.2 Wayang Golek
Wayang telah lama hidup di Indonesia. Semasa
masih ada kerajaan Pajajaran pun seni Wayang telah hidup. Dalam kehidupannya di
Jawa Barat kesenian Wayang Golek difungsikan dalam dua bentuk pergelaran, yaitu
untuk hiburan dan untuk ruatan (upacara ritual).
Bagi masyarakat Jawa Barat, kecuali Cirebon dan Indramayu, Wayang Golek purwa
bias disebut dengan Wayang Golek saja. Bagi masyarakat Cirebon dan Indramayu
selain dikenal Wayang Golek Purwa dikenal pula Wayang Golek Cepak dan Wayang Kulit Purwa.
Wayang
Golek Purwa adalah seni pertunjukkan wayang. Wayangnya terbuat dari bahan kayu
menyerupai bentuk tubuh manusia. Boneka dari kayu ini lazim pula disebut golek. Oleh karena itu wayangnyapun disebut Wayang Golek sedangkan wayang yang terbuat dari bahan kulit
disebut Wayang Kulit.
Dimanapun
pergelaran Wayang Golek berlangsung, tata pentasnya hamper tetap sama yaitu
adanya suatu panggung yang agak luas dengan ukuran sekitar 5x5x1 meter. Dalang
duduk terdepan panggung (bagian tengah). Dibagian kiri dalang diletakkan kotak,
yaitu peti dari kayu tempat penyimpanganan seluruh wayang yang akan digunakan.
Sebagian wayang yang akan difungsikan sebagai dekorasinpanggung bagian depan.
Istilah dalam pedalangan disebut dijantur. Wayang-wayang tersebut dipasang
secara rapi dengan posisi berdiri pada alas yang berupa batang pohon pisang
yang ditempatkan sejajar disebelah kiri kanan dalang. Di depan dalang dipasang
lagi dua batang pohon pisang sepanjang + 1 meter dengan ketinggian +
50 cm. Kedua batang pohon pisang tersebut dinamakan jagat, yaitu tempat
berlangsungnya dengan adegan cerita yang dilakonkan. Pada jagat diletakkan dua
buah gugunungan, yaitu lambing alam yang isinya diukir dalam kulit sapi dengan warna
cat. Dibagian pinggir kotak, diletakkan bebrapa potongan logam besi yang
digantung tepat dibagian lutut dalang sebelah kiri jika duduk bersila. Alat
dari bahan besi-besi tersebut dinamakan kecrek. Fungsinya sebagai
pengatur irama gamelan, dibunyikan dengan cara diinjak-injak oleh dalang
melalui telapak kakinya yang kanan. Disamping kecrek fungsi komodo lainnya
menggunakan alat pemukul yang disebut cempala. Membunyikan
pukulan cempala dengan cara dipukulkan ke bagian dalam kotak, kadang-kadang
silih berganti dengan bunyi kecrek membuat aksen music melengkapi bunyi
gamelan.
Proses penampilan Wayang Golek Purwa
Wayang
golek purwa lazim dipergelarkan dalam berbagai arena panguung. Dalam panggung
hajatan (pribadi), posisi dalang selalu menghadapi bagian depan rumah yang
punya hajat.
Posisi duduk setelah dalang
yaitu juru rebab dibelakangnya. Disebelah juru rebab duduk para pesinden dan
wira suara. Dibelakangnya lagi duduk juru kendang berjajar dengan juru saron
dan peking serta selentem. Di sudut kanan belakang biasanya tempat kenong,
sedang disudut kiri belakang ditempatkan boning. Gambang berada di bagian depan
sebelah kanan.
Menarik tidaknya suatu
pergelaran Wayang Golek bagi para penonton, tergantung pada kualitas para
senimannya. Terutama yang paling menentukan adalah dalangnya sendiri. Untuk
saat ini dalang-dalang wayang golek purwa terkenal antara lain; Asep Sunandar
Sunarya, Ade Kosasih Sunaryadan Iden Sunarya dari Giriharja Jelekong Bandung,
R. H. Cecep Supriadi dari Karawang, dan Endang Taryana di Cianjur. Dede Amung
Sutarya dari perkumpulan Nunggal Pawenang Padasuka Bandung. Pesindennya antara
lain; H. Ijah Hadijah dan Yoyoh Supriatin dari Karawang, Cicih Cakurileung dari
Subang, Ai Hayati dari Bandung dll.
Dalam pergelaran untuk keperluan
apresiasi disesuaikan dengan kebutuhan, mungkin 1 jam atau 2 jam seperti halnya
tayangan di Televisi, yang disebut pergelaran padat.
2.4.3 Wayang Orang
Wayang orang juga disebut dengan istilah
Wayang Wong (Bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang
sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang adalah seni drama tari
yang mengambil cerita Ramayana dan
Mahabarata sebagai induk ceritanya.
Sesuai dengan namanya, wayang
ini tidak lagi dipergelarkan menggunakan boneka-boneka wayang (wayang kulit
yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi
mereka menggunakan orang-orang atau manusia sebagai pelakonnya. Manusia-manusia
yang memerankan sebuah lakon dalam wayang orang ini memakai hiasan-hiasan dan
pakaian-pakaian yang sesuai dan mirip dengan boneka-boneka lakon wayang. Supaya
bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari
samping), sering kali pemain wayang orang diubah/dihuas mukanya dengan tambahan
gambar atau lukisan. Dalam segi cerita, wayang orang adalah perwujudan drama
tari dari Wayang Kulit Purwa. Pada mulanya, yakni pertengahan abad ke-18, semua
penari Wayang Orang adalah penari pria, tidak ada penari wanita. Jadi agak
mirip dengan pertunjukkan ludruk di Jawa Timur saat ini.
Dalam
buku mengenai budaya wayang disebutkan, wayang orang diciptakan oleh Kangjeng
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara (1757-1795). Para pemainnya waktu itu
terdiri atas abdi dalem istana.
Pertama
kali Wayang Orang dipentaskan secara terbatas yaitu pada Tahun 1760. Namun,
pada waktu pemetintahan Mangkunegara V merasa bahwa pertunjukkan Wayang Orang
ini lebih memasyarakat, walaupun masih tetap terbatas dinikmati oleh kerabat
keraton dan para pegawainya. Pemasyarakatan seni Wayang Orang hamper bersamaan
waktunya dengan lahirnya tari Langendriyan.
Pada
masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944) kesenian Wayang Orang mulai
diperkenalkan kepada masyarakat diluar tembok keraton. Usaha kemasyarakatan
kesenian ini makin ketika Sunan Paku Buwana X (1893-1939) memprakarsai
pertunjukan Wayang Orang bagi masyarakat umum di Balekembang, Taman Sri Wedari,
dan di pasar malam yang diselenggarakan di alun-alun. Para pemainnya pun, bukan
lagi hanya para abdi dalem, melainkan juga orang-orang di luar keraton yang
berbakat menari.
Penyelenggaraan
pertunjukkan wayang orang secara komersial baru dimulai pada tahun 1922.
Mulanya, dengan tujuan mengumpulkan dana bagi konges kebudayaan. Kemudian pada
tahun 1932, pertama kali wayang orang masuk dalam siaran radio, yaitu Solosche Radio Vereening, yang mendapat sambutan hebat dai masyarakat.
Wayang Orang juga menyebar ke Yogyakarta. Pada zaman pemerintahan Sultan
Hanengku Buwana VII (1877-1921) keraton Yogyakarta dua kali mempergelarkan
pementasan Wayang Orang di Yogyakarta untuk tontonan kerabat keraton. Waktu itu
lakonnya adalah Sri Suwela dan Pregiwa – Pregiwati. Wayang Orang di Yogyakarta
ini disebut Wayang Wong Mataraman.
Sejalan
dengan perkembangan Wayang Orang, terciptalah gerak-gerak tari baru yang
diciptakan oleh para seniman pakar tari keraton. Gerak tari baru itu antara lain adalah sembahan,
sabetan, lumaksono. ngombak banyu, dan srisig.
Karena ternyata kesenian Wayang Orang
mendapat sambutan hangat dari masyarakat, bermunculanlah berbagai perkumpulan
Wayang Orang; mula-mula dengan status amatir, kemudian menjadi profesional.
Perkumpulan Wayang orang yang cukup tua dan terkenal, di antaranya Wayang Orang
(WO Sriwedari di Surakarta dan WO Ngesti Pandawa di Semarang. Wayang Orang
Sriwedari merupakan kelompok budaya komersial yang pertama dalam bidang seni
Wayang Orang. Didirikan tahun 1911, perkumpulan Wayang Orang ini mengadakan
pentas: secara tetap di`kebon raja' yakni taman hiburan umum milik Keraton Kasunanan Surakarta.
Di Jakarta, pada tahun 1960 - 1990, pernah pula berdiri beberapa
perkumpulan Wayang Orang, di antaranya Sri Sabda Utama, Ngesti Budaya, Ngesti Wandawa, Cahya Kawedar, Adi
Luhung, Ngesti Widada, Panca Murti, dan yang paling lama
bertahan Bharata.
Pentas seni Wayang Orang juga melahirkan seniman-seniman tari yang
menonjol, antara lain Sastradirun, Rusman, Darsi, dan Surana dari Surakarta;
Sastrasabda dan Nartasabda dari Semarang; Samsu dan Kies Slamet dari Jakarta.
Pertunjukkan
Wayang Orang diantaranya:
1)
Ketoprak
2)
Legendriyan
3)
Ludruk
4)
Wayang Golek
5)
Wayang Kulit
BAB 3 NILAI-NILAI ETIS DALAM WAYANG
Dalam lakon ataupun bentuk-bentuk wayang
kita dapat menemukan Nilai-nilai etis, diantaranya adalah:
- Nilai “Kesempurnaan Sejati”
- Nilai “Kesatuan Sejati”
- Nilai “Kebenaran Sejati”
- Nilai “Kesucian Sejati”
- Nilai “Keadilan Sejati”
- Nilai “Keagungan Sejati”
- Nilai “Kemercusuaraan Sajati”
- Nilai “Keabadian Sejati”
- Nilai “Keteraturan Makrokosmos Sejati”
- Nilai “Keteraturan Mikrokosmos Sejati”
- Nilai “Kebijakan Sejati”
- Nilai “Realita dan Pengetahuan Sejati”
- Nilai “Kesadaran dan Keyakinan Sejati”
- Nilai “Kekasihsayangan Sejati”
- Nilai “Ketanggungjawaban Sejati”
- Nilai “Kehendak, Niat dan tekad Sejati”
- Nilai “Keberanian, Semangat dan
Pengabdian Sejati”
- Nilai “Kekuatan Sejati”
- Nilai “Kekuasaan, Kemandirian dan
Kemerdekaan Sejati”
- Nilai “Kebahagiaan Sejati”
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Ada sedikit kerancuan dalam menentukan asal usul wayang, (Moeburman,
1960: 21; Brandon, 1970: 3). Sementara para Sarjana mengatakan, wayang berasal
dari Indonesia (Jawa), ada juga yang mengatakan dari India, lainnya mengatakan
bahwa wayang adalah produk Hindu-Jawa. Kerancuan ini diakibatkan dengan
kekuarangannya fakta-fakta yang mendukung dari asal-usul wayang tersebut. Namun
sejumlah ahli mengatakan bahwa “Sesuatu ekspresi kemanusiaan tak dapat
dipisahkan dari kultur yang menghidupinya, karena ia mempunyai arti apabila ia
berfungsi dalam struktur social masyarakat dari kultur itu (Koentjaraningrat:
376-82). Jika teori ini diterapkan kedalam asal-usul wayang itu sendiri, maka
wayang tentunya berasal dari Jawa karena wayang hidup dan berfungsi dalam
masyarakat Jawa saja.
Meskipun
asal-usul wayang belum pasti, para penulis Indonesia cenderung mengikuti teori
Hazeau yang mengatakan berasal dari suatu upacara keagamaan untuk memuja arwah
nenek moyang yang disebut Hyang. Atas dasar inilah mereka menyusun periodisasi
perkembangan wayang di Indonesia. Berdasarkan sumber karangan Mulyono (1978;
296-306) berikut ini perkembangan wayang sesuai dengan periodisasinya:
- Zaman Prasejarah
- Zaman Jawa Timur
- Zaman Kedatangan Islam
- Zaman Indonesia Merdeka
Wayang memiliki fungsi-fungsi yaitu fungsi
religius, pendidikan, penenrangan, kritik social dan fungsi hiburan. Selain
fungsi-fungsi tersebut, wayang memiliki fungsi-fungsi teatrikal diantaranya
adalah:
- Wayang sebagai suatu teater total
- Wayang sebagai sastra lakon
- Wayang sebagai teater hubungan antara Dalang, Penonton dan Tuhan
Macam-macam wayang:
- Wayang Kulit
- Wayang Golek
- Wayang Orang
Nilai-nilai etis dalam wayang:
- Nilai “Kesempurnaan Sejati”
- Nilai “Kesatuan Sejati”
- Nilai “Kebenaran Sejati”
- Nilai “Kesucian Sejati”
- Nilai “Keadilan Sejati”
- Nilai “Keagungan Sejati”
- Nilai “Kemercusuaraan Sajati”
- Nilai “Keabadian Sejati”
- Nilai “Keteraturan Makrokosmos Sejati”
- Nilai “Keteraturan Mikrokosmos Sejati”
- Nilai “Kebijakan Sejati”
- Nilai “Realita dan Pengetahuan Sejati”
- Nilai “Kesadaran dan Keyakinan Sejati”
- Nilai “Kekasihsayangan Sejati”
- Nilai “Ketanggungjawaban Sejati”
- Nilai “Kehendak, Niat dan tekad Sejati”
- Nilai “Keberanian, Semangat dan
Pengabdian Sejati”
- Nilai “Kekuatan Sejati”
- Nilai “Kekuasaan, Kemandirian dan
Kemerdekaan Sejati”
- Nilai “Kebahagiaan Sejati”
4.2 Saran
Kami
sebagai penyusun, memberikan saran diantaranya:
- Wayang merupakan kebudayaan Indonesia
yang sudah diakui oleh UNESCO sejak lama. Maka, kita sebagai rakyat
Indonesia harus melestarikannya agar tetap ada dimasa yang akan dating.
- Hidupkan dan kembangkan Wayang sebagai
totontonan moral bagi pendidikan-pendidikan remaja dewasa kini.
- Mari kita terapkan nilai-nilai etis dan moral yang terkandung dalam wayang itu sendiri.
CATATAN KAKI
1Hazim Amir, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang:hlm.25
2 Hazim Amir, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang:hlm.78
3Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukkan:hlm.22
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Hazim. 1991. Nilai-nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan.
Soepandi, Atik dkk. 1995. Ragam Cipta. Bandung: CV. Beringin Sakti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Comment here :)